Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.
Tulisan yang berkarakter adalah tulisan yang mewakilkan semua objek yang ditulis. Secara gramatikal sebenarnya bukan hanya itu, akan tetapi tulisan tersebut harus mempunyai kesepahaman antara tujuan penulis dengan pembaca.
Tulisan berkarakter tidak berkorelasi dengan jumlah kalimat yang yang digunakan. Adanya, kesenjangan dan solusi terhadap masalah yang disajikan memberikan gambaran umum bahwa tulisan itu sudah memiliki ruh yang sesuai dengan objek sajiannya.
Apapun jenis tulisan yang dipilih, penulis selalu mengangkat sebuah masalah yang fenomenal. Namun konsep masalah yang kurang dipahami oleh penulis selama ini. Hal ini tampak pada setiap ulasan yang dipaparkan. Sering penulis menyeret pembaca pada landing tulisan begitu menggebu- gebu, tetapi pada saat pembaca terbang dalam bacaan ia tersiksa dan sesak oleh polusi tulisan.
Dalam penulisan jenis naratif, penulis tidak t dipasung oleh aturan kebahasaan yang ketat layaknya menulis karya tulis ilmiah. Penulis pemula sering terjebak dalam jeratan kebahasaan seperti ini, sehingga motivasi menulis dikungkung oleh aturan tersebut.
Dalam teks -teks naratif dan teks naratif deskriptif, penulis lebih bebas berlayar menebar jaring- jaring imajinasi untuk menangkap diksi- diksi yang bernuansa dan tidak kaku. Menghadapi hal seperti itu kadang- kadang penulis pemula mengidap penyakit phobia terhadap pengangkangan unsur kebahasaan.
Cara sehat untuk keluar dari phobia di atas, adalah seorang penulis dapat memulai dengan memilih ragam tulisan santai. Ragam santai atau sering dilabeli dengan esai ini dapat menumbuhkan motivasi awal dalam menulis.
Walaupun tergolong ragam santai bukan berati sang juru tulis boleh memperkosa bahasa dengan syahwat pleonastis. Akan tetapi, seluruh aturan yang berhubungan dengan Fonologi, morfologi, sintaksis , wacana dan ejaan harus tetap jadi prioritas.
Jika aturan yang menjadikan jembatan menulis menuju sukses yang sudah disebutkan di atas dilanggar, dapat dibayangkan bagaimana bentuk dan makna tulisan yang dihasilkan.
Perlu diperhatikan bahwa tulisan yang baik adalah bukan kumpulan kata yang banyak dan meluap -luap gaya bahasa. Namun, kualitas dari bahasa itu sendiri menentukan tujuan, pesan, dan, tema yang ingin disampaikan.
Harus diakui, setuju atau tidak, sepaham atau berlawanan, penulis di Indonesia berdiri pada dua kaki. Artinya, satu sisi Ia dituntut untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Sisi selanjutnya Ia harus bertindak sebagai creator merangkai bahasa seindah mungkin untuk memunculkan rangsangan pembaca terhadap setiap hidangan tulisan yang disajikan. Masalah ini terus menghantui hampir setiap penulis, terutama pada tahap awal menulis.
Nah ketika pertanyaan yang berhubungan dengan stilistika dan gaya bahasa sang pakar juga mengeluarkan teori teori yang luar biasa untuk menanggulangi banjir penasaran para peserta. Sayang…! Diantara peserta mengernyitkan kening, menunjukkan adanya penjelasan yang belum sesuai harapan.
Ilustrasi ini menggambarkan bahwa belum ada standar baku dalam bahasa Indonesia mengenai tulisan- tulisan yang bersumber dari imaji dalam bentuk naratif. Pada penulisan karya tulis ilmiah aturan tersebut tampak kentara dan tidak dapat ditawar- tawar.
Simpulan
Tulisan ini tidak untuk menakut- nakuti, akan tetapi lebih kepada instrospeksi keilmuan yang berkembang di masyarakat. selanjutnya adanya’ benang merah antara menulis sastra dan karya ilmiah merupakan tantangan tersendiri bagi penulis pemula.